Minggu, 12 Februari 2012

Tarian sang Penjaga Rimba


TARI etnis memiliki ciri khas kesakralan. Sebuah ritual yang menghadirkan nilai-nilai moral dan adat istiadat tampak pada masyarakat Minangkabau ketika mereka menjaga ritme antara alam dan binatang.

Pada pementasan Rimbo Larang di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu, koreografer Datuk Edwel Yusri menyuguhkan paduan antara Tari Hariman dan pencak silat.
"Gerakan-gerakan dalam tari ini mengambil gerakan harimau. Tari ini sudah jarang dipentaskan sehingga saya coba membangkitkannya kembali," ujar Edwel seusai pementasan.

Unsur kejantanan menjadi suguhan u-tama. Apalagi, setiap penari begitu gagah dalam membawakan gerak-gerakan tari. Saat dua penari memperagakan adegan silek (silat), pementasan awal pun dimulai.
Faradiba May Sarah, salah satu penari, misalnya, menampilkan gerakan yang energik. Ia begitu piawai membawakan silat tradisional sehingga mendapat sambutan antusias dari para penonton.
Tata lampu yangstandar dan latar belakang panggung yang kosong mengindikasikan tarian tersebut dibawakan secara sederhana. Meski begitu, unsur filosofis begitu lekat pada tarian tersebut.
Setelah kedua penari memperagakan adegan silat, empat penari lainnya muncul dengan gagah. Mereka menggunakan baju yang menyerupai harimau. Unsur seni bela diri, seperti sikap tubuh (gerak), langkah, dan jurus pamungkas, mereka bawakan dengan kompak.

Gerakan para penari itu semakin padu. Apalagi, selama 60 menit pementasan berlangsung. Julian Medzer (Prancis) memainkan instrumen suling dengan merdunya. Gerakan-gerakan mencakar, menerkam, meraung, hingga mengejar mangsa dilarikan secara simbolis. Para penari seakan menjelma menjadi harimau jadi-jadian. Sesekali mereka bertingkah liar dan sesekalijinak.

Dalam pementasan itu terdapat 18 pesilat dan enam penari tradisional.
Para penari itu menggunakan pakaian rumbai-rumbai hijau hingga baju yang menyerupai harimau. Rumbai-rumbai hijau melambangkan hutan.Uniknya, beberapa penari menari dengan menggunakan kerambit (sejenis pisaugenggam kecil, atau kuku macan) dan sabit. Sabit yang mereka gunakan menyimbolkan kerusakan hutan akibat ulah manusia.

Kerusakan itu membuat segerombolan harimau (disimbolkan dengan empat penari lainnya) turun ke perkampungan rakyat. Saat itulah rakyat membunuh harimau. Karena merasa hutan mereka terancam, segerombolan harimau itu lantas memangsamanusia.

"Kerusakan hutan akibat ulah manusia menjadi perhatian kami. Sebenarnya, tarian rakyat ini sudah ada sejak saya kecil. (Sekarang) Sudah mulai jarang dipentaskan," jelasnya.
Gerakan yang lemah lembut dan ge-mulai terlihat pada tarian itu. Para penari, khususnya empat penari yang berpakaian rumbai-rumbai, begitu lentik dalam membawakan gerakan tari. Mereka bergerak bagai harimau. Sesekali mereka beringas, tetapi lain waktu begitu jinak.

Kerambit
Kerambit yang dipakai para penari itu merupakan sebuah aksesori tari yang ada di masyarakat Minangkabau. Sayangnya, alat tersebut bukan lagi menjadi kepunyaan orang Minangkabau.
Lelaki kelahiran Agam, Sumatra barat, 6 juli 1%3, itu menilai kerambit sudah diklaim sebagai milik Filipina. Hal itu, sambungnya, telah mendatangkan sebuah kerugian yang sangat besar.
"Kerambit itu sudah dipopulerkan di Eropa. Sekarang malah sudah diklaim oleh Filipina sebagai warisan nenek moyang mereka. Pemerintah kita sangat telmi (telat mikir)," ucap Edwel seraya mengerutkan dahinya.

Sementara itu, kehadiran narator Korinof Dasir sangat penting. Apalagi, ia menjadi petugas belakang panggung yang memandu sendratari itu agar bisa dipahami penonton. "Persiapan tim hanya dilakukan selama sepekan saja. ApaJagi kami harus mendatangkan para pesilat dari Kabupaten Agam," jelas Korinof.]

Pementasan Rimbo Larang menghadirkan sebuah kisah tragis. Manusia harus menjaga lingkungan hutan agar habitat di dalamnya tetap lestari. Jangan sampai hutan alamiah diubah segelintir oknum menjadi lahan sawit. (M-4)miweekend@mediaindonesia.com